Sinarnarasi.com — Bisnis konser musik di Indonesia terus mengalami pertumbuhan pesat seiring meningkatnya minat masyarakat terhadap hiburan langsung. Kehadiran musisi internasional maupun lokal selalu disambut antusias oleh penggemar. Namun, di balik gemerlap panggung dan euforia penonton, industri konser juga menyimpan sejumlah masalah yang kerap merugikan konsumen. Setiap tahun, keluhan terkait konser bermasalah terus bermunculan, membuat bisnis ini menjadi sorotan publik dan menimbulkan pertanyaan soal perlindungan konsumen.
Salah satu bentuk kerugian yang paling sering dialami konsumen adalah pembatalan atau penundaan konser secara mendadak. Tidak sedikit konser yang batal digelar meski tiket sudah terjual habis. Dalam banyak kasus, proses pengembalian dana atau refund berjalan lambat, tidak transparan, bahkan ada yang tidak kunjung diselesaikan. Konsumen pun harus menanggung kerugian tambahan berupa biaya perjalanan, akomodasi, hingga waktu yang sudah terbuang sia-sia. Situasi ini menunjukkan kurangnya mekanisme perlindungan konsumen yang efektif dalam industri hiburan, sehingga penonton menjadi pihak yang paling dirugikan.
Selain pembatalan, persoalan lain yang sering dikeluhkan adalah perbedaan antara janji promotor dan realisasi di lapangan. Mulai dari perubahan jadwal mendadak, pengurangan durasi penampilan artis, hingga fasilitas yang tidak sesuai dengan kategori tiket. Misalnya, tiket VIP yang dijanjikan akses khusus atau fasilitas tertentu, namun kenyataannya terbatas atau tidak sesuai standar. Ketidaksesuaian ini membuat pengalaman penonton tidak sepadan dengan harga tiket yang dibayar, menimbulkan rasa kecewa, dan menurunkan kepercayaan publik terhadap penyelenggara konser.
Sistem penjualan tiket juga menjadi sumber masalah utama. Banyak konsumen mengalami kesulitan saat membeli tiket secara online. Gangguan pada platform penjualan, antrean digital yang padat, dan kegagalan sistem saat “war tiket” membuat konsumen sering gagal mendapatkan tiket resmi. Lebih parah lagi, praktik calo digital atau penjualan tiket di pasar sekunder memaksa penggemar membayar harga jauh lebih tinggi daripada harga resmi. Kondisi ini menunjukkan lemahnya regulasi dan pengawasan terhadap penjualan tiket, sehingga konsumen kembali menjadi pihak yang dirugikan secara finansial.
Selain itu, transparansi penyelenggara konser juga masih menjadi sorotan. Konsumen jarang mendapatkan informasi yang jelas mengenai hak mereka jika konser batal, termasuk prosedur refund dan estimasi waktu pengembalian dana. Banyak penggemar merasa bingung dan frustrasi ketika menghadapi situasi ini, sehingga dampak negatifnya tidak hanya bersifat finansial, tetapi juga psikologis. Industri konser perlu membangun sistem komunikasi yang baik dengan konsumen agar ekspektasi dan realitas dapat lebih sejalan.
Masalah lainnya adalah kualitas pengalaman konser yang tidak selalu konsisten. Penonton mengharapkan pengalaman yang aman, nyaman, dan menyenangkan. Namun, kondisi lapangan seperti keamanan, kebersihan, fasilitas penunjang, dan pengaturan penonton sering tidak sesuai standar. Hal ini membuat konsumen merasa hak mereka terabaikan dan nilai yang mereka bayar tidak sebanding dengan layanan yang diterima.
Secara keseluruhan, meski bisnis konser di Indonesia menjanjikan hiburan dan keuntungan besar bagi pelaku industri, konsumen sering kali menanggung kerugian. Pembatalan mendadak, janji yang tidak sesuai realisasi, masalah penjualan tiket, dan kualitas layanan yang tidak konsisten menjadi isu berulang setiap tahun. Agar bisnis konser berkembang secara sehat dan berkelanjutan, perlu adanya regulasi yang jelas, mekanisme perlindungan konsumen yang efektif, serta profesionalisme dari penyelenggara. Dengan begitu, konsumen bisa menikmati hiburan dengan aman, nyaman, dan sesuai hak mereka.