Bisnis Thrifting Masih Jadi Perhatian Pemerintah

Sinar Narasi — Bisnis thrifting atau penjualan pakaian bekas impor di Indonesia masih menjadi sorotan, terutama karena jumlah pelakunya yang sangat besar. Berdasarkan data terkini, diperkirakan sekitar 7 juta orang terlibat dalam bisnis ini, baik sebagai pedagang maupun sebagai pelaku usaha kecil menengah yang menjadikannya sebagai sumber pendapatan utama. Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun thrifting merupakan aktivitas yang belum di atur secara resmi, bisnis ini tetap tumbuh subur di berbagai wilayah, mulai dari kota besar hingga daerah-daerah di Indonesia.

Seiring pertumbuhan Bisnis Thrifting, para pedagang pun mulai menyuarakan aspirasi mereka agar usaha ini mendapatkan kepastian hukum. Baru-baru ini, sejumlah pedagang baju bekas impor menyampaikan keluhan dan permintaan mereka langsung kepada Badan Aspirasi Masyarakat (BAM) DPR RI. Mereka berharap pemerintah dapat mempertimbangkan legalisasi usaha mereka, sehingga bisa menjalankan bisnis dengan lebih nyaman dan tidak khawatir terhadap risiko penertiban atau sanksi hukum. Selain itu, mereka juga bersedia memenuhi kewajiban pajak jika bisnis ini di legalkan. Dengan alasan bahwa pajak dapat menjadi kontribusi nyata mereka terhadap negara.

Namun, di tengah permintaan tersebut. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan sikap tegas pemerintah. Purbaya menyatakan bahwa pihaknya tidak akan berkompromi terkait legalisasi bisnis thrifting, meskipun para pedagang bersedia membayar pajak. Menurutnya, legalisasi penjualan baju bekas impor berpotensi menimbulkan berbagai masalah, termasuk dampak negatif terhadap industri tekstil lokal. Industri tekstil Indonesia, yang menyerap jutaan tenaga kerja. Masih menghadapi persaingan ketat dengan produk impor. Jika bisnis baju bekas di legalkan, hal ini bisa memperlemah daya saing produsen lokal dan menurunkan tingkat konsumsi produk dalam negeri.

Selain dampak ekonomi, ada juga pertimbangan aspek kesehatan dan keselamatan konsumen. Pakaian bekas impor tidak selalu melewati proses kontrol mutu atau sanitasi yang ketat, sehingga potensi risiko bagi konsumen tetap ada. Pemerintah, menurut Purbaya, memiliki tanggung jawab untuk menjaga kepentingan masyarakat luas, bukan hanya segelintir pedagang. Oleh karena itu, meskipun ada potensi penerimaan pajak, legalisasi thrifting tidak di anggap sejalan dengan kebijakan ekonomi dan perlindungan konsumen yang lebih luas.

Menanggapi penolakan pemerintah, sebagian pedagang mengaku kecewa. Mereka merasa usaha mereka selama ini membantu memenuhi kebutuhan masyarakat, khususnya kelompok menengah ke bawah yang mencari pakaian dengan harga terjangkau. Selain itu. Bisnis thrifting juga di anggap sebagai bentuk kegiatan ekonomi kreatif yang memberi peluang pekerjaan bagi banyak orang. Terutama di sektor informal. Bahkan, sebagian pedagang menekankan bahwa keberadaan mereka membantu mengurangi limbah tekstil dan mendorong praktik daur ulang, yang sejatinya sejalan dengan konsep ekonomi sirkular.

Meski begitu, pemerintah tetap menekankan pentingnya kepatuhan hukum dan perlindungan industri domestik. Menteri Keuangan menegaskan bahwa meski niat para pedagang baik, legalisasi thrifting tetap tidak bisa di lakukan saat ini. Pemerintah lebih mendorong agar pedagang memanfaatkan jalur usaha yang legal dan mendukung industri dalam negeri, misalnya dengan beralih ke bisnis pakaian lokal atau membuka usaha thrift yang berbasis daur ulang pakaian produksi domestik. Pendekatan ini di anggap lebih berkelanjutan dan dapat memberikan manfaat jangka panjang bagi perekonomian nasional.

Kasus ini mencerminkan di lema yang di hadapi pemerintah dalam mengatur ekonomi informal. Di satu sisi, bisnis thrifting memberi peluang ekonomi bagi jutaan orang dan menyediakan produk terjangkau bagi masyarakat. Di sisi lain. Legalisasi baju bekas impor dapat mengancam industri lokal dan menimbulkan risiko yang sulit di kendalikan. Ke depan, dialog antara pemerintah dan pedagang di harapkan terus berlangsung, dengan tujuan menemukan solusi yang seimbang antara kepentingan ekonomi, kepatuhan hukum, dan perlindungan konsumen.

Dengan begitu. Meski bisnis thrifting tetap menjadi sektor yang berkembang, pemerintah memastikan bahwa pertumbuhan tersebut harus sejalan dengan kepentingan nasional, bukan hanya kepentingan individu atau kelompok tertentu. Penolakan legalisasi bukan berarti menutup peluang bagi pedagang, tetapi lebih pada arah kebijakan yang mendukung keberlanjutan industri dan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh.